Jakarta siang hari.
Hangat kerontang sesak oleh wajah-wajah diburu waktu, sibuk berlalu lalang tak
tentu arah. Perutku sudah berbunyi minta diisi. Ya, semalam si kecil sakit,
badannya panas sekali, membikin aku dan istriku wajib mengalah, menganti jatah makan
malam dan sarapan pagi kami dengan sebotol kecil sirup penurun panas dan
seplastik bubur balita.
Kucomot sebuah
pisang goreng, dan sebuah lagi, lalu menenggak sisa kopi di gelas hingga
tinggal ampasnya, lumayan untuk sekedar menganjal perut yang lapar. Kuambil
sebatang rokok, menghisapnya dengan perasaan dinikmat-nikmatkan, wajib nikmat
karena khusus hari ini apa yang kuperoleh sejatinya adalah kemewahan.
Pendapatan kernet metromini sungguh pas-pasan, ditambah seorang buah hati yang
sakit, wah-aku memang mesti pandai-pandai berhemat.
Dan lelaki itu
datang. Lelaki yang paling kubenci di seantero bumi hingga aku sempat bertanya
: kenapa Tuhan mesti menciptakan manusia buruk rupa seperti dirinya. Ya,
rambutnya gondrong lusuh meriap-riap ditiup angin kerontang. Senyum menyelingai
diapit dua bilah pipi yang berliang-liang karena bekas jerawat di masa muda.
Mata mendelik merah, entah karena muak menahan kantuk atau lepas menenggak
minuman keras. Dengan tubuhnya yang tinggi tegap itu dan beraroma bacin
keringat, adalah modal utamanya untuk jadi preman terminal, tukang jambret
pasar, jadi bromocorah tengik, jadi lintah penghisap darah orang-orang miskin
sepertiku.
Kendati begitu, aku
tidak takut kepadanya, aku bahkan pernah nyaris menghabisi nyawanya. Ya, siang
itu tanganku sudah bersiap dengan sebilah kunci Inggris. Aku tegak di samping
pintu bis dengan nafas memburu dan berharap ia langsung memaki-maki saat
kukatakan tidak ada setoran ini hari.
Tapi lacur, Bang
Ucok, sopir bisku kesusu melarang, bisik gemetarnya menjilat telingaku.
"Jangan konyol.
Dia itu preman dan seberani apapun preman, ia tak pernah sendirian." Ia
sudah berdiri di hadapanku. Menyodorkan tangan hitamnya, dengan kuku-kuku
panjang yang kotor. Mulutnya menebar aroma minuman keras. Aku menutup hidung,
benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa muakku, kendati begitu tanganku,
sesuai dengan wasiat Bang Ucok tetap saja merogoh saku dan meletakkan dua
lembar ribuan di genggamannya. Ia menatapku dengan mata merahnya, seperti ingin
mengucapkan sesuatu, tetapi urung karena aku keburu mengibas-ngibaskan tanganku
akibat aroma tengik minuman keras yang menyebar dari mulutnya. Ia garuk-garuk
kepala lantas berbalik masuk ke rumah makan Padang. Di sana kulihat ia
melempaskan sebungkus rokoknya, menenggak segelas kopi dan memesan sepiring
nasi.
Aku kesusu mengucap
asma Tuhan, takut-takut kegeraman itu menyeruak tak terkendali dan mengantarku
untuk memukul kepalanya dengan botol minuman bersoda. Kernet bayangan terminal
memberi isyarat. Bis sudah penuh. Aku berbisik malu di telinga penjual gorengan
itu, " Ngutang dulu, Mbok." Mbok Sumi menganguk, paham akan
kondisiku. Ya, aneh memang tetapi terakadang para orang miskin itu seakan
direkatkan oleh hubungan batin.
Bang Ucok sudah
duduk di belakang kemudi, aku meloncat naik ke bis dan mulai meminta ongkos
kepada para penumpang. Bang Ucok lalu memencet klakson, isyarat kalau bis mau
bergerak. Aku kesusu turun dan mulai mengatur arus lalu lintas keluar terminal.
Tak ada masalah, sebentar saja, wajar aku sudah ratusan kali melakukan hal ini.
Bis berhasil keluar terminal dan Bang Ucok mulai tancap gas, aku berlari-lari
kecil dan dengan cekatan meloncat ke pintu bis. Tapi entah mengapa
ketangkasanku mendadak lenyap, handel pintu bis terasa licin dan basah. Sial.
Cengkramanku terlepas dan aku pun sontak jatuh ke aspal. Sebuah avanza merah
marun melesat cepat tepat dihadapanku. Aku menutup mata, detik itu aku siuman
kalau riwayatku tamat di sini. Namun sebelum itu terjadi, kurasakan ada
seseorang yang menerjangku, mendorongku ke tepi jalan. Lalu ada suara jeritan
panjang. Takut-takut aku membuka mata, dan bersyukur kalau aku masih ada di
dunia, masih bernafas dan tidak kurang satu apapun. Tetapi disampingku ada
sesosok tubuh. Ya, Tuhan penyelamatku ternyata premen terminal itu, lelaki yang
paling kubenci di seantero bumi. Kaki kirinya remuk redam, mungkin terlindas
mobil ketika meloncat menyelamatkanku. "Kakimu?" Tanyaku cemas, tak
bisa berucap apa-apa lagi. Lelaki itu mengerling kakinya sekilas lalu tersenyum
"Selama ini kau sudah begitu baik padaku, " katanya " Lalu
apakah aku perlu menyesal karena kehilangan sebilah kaki untuk menyelamatkanmu?
Jangan bercanda kawan."
Dan aku menangis.
Menangis untuk lelaki yang paling kubenci di seantero bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar