dan Dia Telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya (Surat Al-Furqan ayat 2)

Cari Blog, Situs, Website, Facebook, Twitter, Youtube, Metacafe

Sabtu, 21 Agustus 2010

Setan Atau Malaikat ?

Dari pinggir kaca nako, diantara celah kain gorden, saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah.
Matanya berkali-kali melihat kea rah rumah saya. Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat dikeningnya.
Dada saya berdebar menyaksikannya, apa maksud remaja yang bias jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya??? Mau merampok? Bukankankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang lalu-lalang pun penodong bias beraksi, seperti yang diberitakan Koran, atau, dia punya masalah dengan Yudi, anak saya?
Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bias terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah, dirumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri . kang anto, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les bahasa inggris, dan Bibi Nia sudah seminggu tidak masuk.
Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah sayaitu menodong, saya bias apa??? Pintu pagar rumah memang terbuka, siapa saja bisa masuk.
Tapi, itu tidak juga masuk? Tidakkah ia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat mengapa anak muda itu berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain, mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi, tapi di zaman ini, dengan peristiwa-peristiwaburuk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah.
Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, disamping kaca nako. Saya was-was karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.
Terlintas dipikiran saya untuk menelpon tetangga, tapi saya takut jadi ramai, bisa-bisa penghuni sekompleks mendatangi pemuda itu, iya kalau anak itu di Tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul.
Tiba-tiba, pemuda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah, debaran jantung saya mengencang kembali, saya memang mengidap penyakit jantung, tekad saya untuk menelpon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah, apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi, anak muda itu sudah berada di teras rumah saya, dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi, saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.
Terbayang kembali di benak saya, sebelumnya saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyebrangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu, tiba-tiba, diatas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hamper jatuh. Si penabarak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya, saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpen di kantong plastic, disatukan dengan bumbu kue, telah raib.
Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang sedikitpun.
Lama saya melihat dompet itu dan melamun seperti dalam dongeng, seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya piker akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian morat-marit sperti ini, mengembalikan uang yang telah di genggamnya, bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini tak lebih dari sekedar dongeng?
Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini:

"Ibu yang baik, maafkan saya telah mengambil dompet ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga saja ibu mau membacanya.
Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos, karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berfikir tidak apa-apa saya bersekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi, yang membuat saya sakit hati, bapak kemudian sering mabuk-mabukan dan judi togel yang beredar secara sembunyi-sembunyi itu.
Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah, Emak berjualan gorengan yang dititipkan di warun-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya, saya berjualan Koran, membantu Emak untuk sekedar membeli beras.
Saya sadar, kalau keaadan saya seperti ini, saya harus berjuang lebih keras lagi. Saya mau melakukannya, dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja berjualan Koran, saya juga membantu mencuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya mengamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal menabung dan saya maklum) karena masih juga diminta bapak untuk memasang judi togel, bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini, belum pernah tebakan Bapak yang tepat. Lagi pula, emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.
Ketika bapak semakin sering meminta uang kepada emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir bapak dan bapak memukul balik saya, saya membalasnya sampai bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat, saya sakit hati, saya bingung??? Saya mesti bagaimana.
Saat Emak sakit dan bapak semakin menjadi-jadi dengan judi togelnya,sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa emak Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah dimana, tidak peduli, hampir saya memukulnya lagi.
Di jalan, saat saya berjualan Koran, saya sering merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter.Tapi, orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali menelepon dengan HP. Dan di seberang halte itu, di toko/swalayan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan, mereka berpakain bagus begitu rapinya, sesekali membeli banyak baju walaupun di rumah mereka masih memiliki baju yang lumayan bagus juga.
Maka tekad saya, emak harus kedokter, karena dari berjualan Koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota , tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal menjadi pencopet.
Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastic, maka saya ikuti ibu. Diatas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabarak Ibu dan cepat mengambil dompet, saya gembira ketika mendapatkan uang uang 300 ribu lebih.
Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter, tapi Bu, Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, darimana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya atau meminjam dari teman. Tapi, saya tidak berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.
Di pipi keriputnya, mengalir butir-butir air mata, Emak menangis. Bu, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak sekeras-kerasnya. Dengan uang 300 ratus ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan sepuasnya, mabuk-mabukan, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri, tidak peduli dengan apa yang di alami oleh Ibu, dengan orang-orang yang telah saya copet, karena orang-orang juga tidak akan pernah peduli dengan apa yang saya rasakan, tapi, saya tidak bisa melakukannya, saya harus mengembalikan dompet ibu, maaf??"


Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya mencari anak muda itu bingung dan gelisah itu. Di setiap halte tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen, di dalam bus kota, di taman-taman kota, tapi, anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapa pun yang berada di halte tidak mengenal anak muda itu ketika kali saya tanyakan.
Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang, ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Sekarang saya tidak silau lagi dengan segala kemewahan. Ketika Kang Anto suami saya membawa hadiah-hadiah istimewa setiap kali sepulang kerja ataupun sepulang kunjungannya dari luar kota, saya tidak lagi segembira seperti biasanya, saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.
Kang Anto dan kedua anak saya mungkin melihat gelagat aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana lagi, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan, tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju dengan merek terkenal dan sebagainya, karena lebih bijak lagi jika uang-uang yang lebih jika saya harus tabung untuk membelanjakan kebutuhan keluarga yang lebih tepat atau buat persiapan jika ada kebutuhan yang mendadak.
Saya menolaknya mesti kang Anto bilang tidak apa sekali-kali. Saat say ulang tahun, kang Anto menawarkan untuk merayakan dimana saja, tapi, saya ingin memasak sendiri di rumah, membuat makanan untuk untuk suami dan anak-anak saya dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan di bantu Bi Nia, lebih dari seratus bungkus nasi saya buat. Diantar Kang Anto dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang ada di setiap halte.
Di halte terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Anto dan kedua anak saya untuk makan bersama-sama, diam-diam air mata mengalir di mata saya.
Yuni, anak saya, menghampiri saya dan bilang, “ Mama, saya bangga jadi anak Mama, mudah-mudahan saya bisa seperti Mama kelak saat saya sudah berumah tangga” .
Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.

Tidak ada komentar: